Dumonduh.com - Musim haji telah semakin dekat. Kurang dari tiga bulan lagi, Indonesia akan memulai pemberangkatan jemaah haji kloter pertama. Mengingat masalah kuota tambahan haji yang terjadi tahun lalu, Indonesia kini dihadapkan pada tantangan besar dalam mengelola pelaksanaan ibadah haji. Meskipun semua pihak berharap proses ini berjalan lancar, antrean daftar tunggu yang mencapai puluhan tahun menunjukkan betapa pentingnya reformasi sistem haji segera dilakukan.

Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan komitmennya terhadap perbaikan sistem haji. Pada awal Januari, Presiden meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendampingi Kementerian Agama (Kemenag) dalam persiapan haji 2025. Beliau juga berencana mengunjungi Arab Saudi untuk meminta tambahan kuota haji bagi jemaah lansia. Dua minggu kemudian, Presiden menyatakan bahwa biaya haji masih dapat ditekan lebih rendah.

Berbagai masalah masih menghantui pelaksanaan ibadah haji. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan menyeluruh. Saat ini, revisi Undang-Undang Haji sedang dibahas. Mulai tahun 2026, wewenang penyelenggaraan haji reguler akan dialihkan dari Kemenag ke Badan Penyelenggara (BP) Haji. BP Haji sedang menyiapkan usulan revisi UU Haji untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Salah satu usulan strategis dalam revisi UU Haji adalah moratorium tabungan haji. Dengan menghentikan sementara pendaftaran haji, pemerintah dapat memprioritaskan keberangkatan jemaah lansia sambil menyiapkan sistem baru yang lebih adil dan efisien.

Mengapa Moratorium Diperlukan?

Antrean haji di Indonesia merupakan yang terpanjang di dunia, mencapai 30 tahun. Hal ini disebabkan oleh lebih dari lima juta orang yang mendaftar setiap tahun, sementara kuota yang tersedia hanya 220 ribu jemaah per tahun.

Banyak pendaftar yang menua atau meninggal sebelum giliran mereka tiba. Pada tahun 2022, terdapat 1,2 juta jemaah lansia di atas 60 tahun yang masih menunggu. Angka ini setara dengan kuota pemberangkatan selama enam tahun.

Oleh karena itu, moratorium selama enam tahun diperlukan untuk memprioritaskan jemaah lansia yang sudah terdaftar. Pemerintah juga dapat menerapkan batasan usia pendaftaran, seperti yang dilakukan oleh negara lain, untuk memastikan sistem yang berkelanjutan.

Setelah moratorium, pemerintah dapat memberlakukan sistem baru dengan menambah kuota haji khusus. Ini memastikan bahwa mereka yang mampu secara finansial dapat menunaikan ibadah haji, sesuai dengan prinsip kemampuan dalam Islam. Aturan yang tegas juga diperlukan, seperti membatasi haji hanya sekali seumur hidup, agar kuota dimanfaatkan oleh mereka yang belum pernah berhaji.

Haji yang Berkelanjutan

Namun, moratorium saja tidak cukup. Reformasi harus mencakup lebih dari sekadar manajemen antrean. Penyelenggaraan haji perlu mempertimbangkan aspek keberlanjutan, baik dari segi keuangan maupun dampak sosial dan lingkungan.

Dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) saat ini mencapai lebih dari Rp 160 triliun. Sebagian besar dana ini diinvestasikan dalam surat berharga syariah negara (SBSN) sebesar Rp 95,8 triliun (60,04%), diikuti oleh penempatan di perbankan sebesar Rp 53,1 triliun (33,18%), serta investasi langsung dan lainnya sebesar Rp 10,5 triliun (6,78%). Meskipun jumlahnya besar, alokasi dana ini belum optimal dalam mendukung keberlanjutan haji dan kesejahteraan umat.

Sejak didirikan pada 2017, BPKH telah meningkatkan pengelolaan dana haji. Keuntungan dari pengelolaan dana haji (Nilai Manfaat Dana Haji) oleh BPKH lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. BPKH juga menerapkan strategi Socially Responsible Investment (SRI) dan Social Impact Investment (SII), yang tidak hanya mengoptimalkan keuntungan tetapi juga memastikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.

Nilai manfaat dana haji saat ini mencapai sekitar Rp 10,1 triliun per tahun, yang sebagian besar digunakan untuk subsidi biaya haji reguler. Namun, sistem subsidi ini kurang tepat sasaran karena tidak semua jemaah membutuhkan bantuan finansial. Revisi UU Haji diharapkan dapat mengatasi masalah ini.

Subsidi yang lebih tepat sasaran akan memungkinkan BPKH mendukung rencana Presiden Prabowo untuk membangun kampung haji di Arab Saudi. Proyek ini merupakan investasi hijau berbasis ESG (Environmental, Social, Governance), yang fokus pada pembangunan hunian ramah lingkungan dan berbasis energi terbarukan. Proyek ini dapat menjadi model investasi yang menguntungkan secara finansial sekaligus memberikan dampak sosial dan lingkungan positif.

Kolaborasi dengan Arab Saudi juga dapat dijajaki. Menteri Energi Arab Saudi telah menetapkan target energi bersih dan membuka peluang kerja sama dengan pemangku kepentingan lokal maupun internasional. Hal ini dapat menarik investor global dan memberikan keuntungan bagi Indonesia.

BPKH juga dapat berinvestasi dalam proyek-proyek infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi umat. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus memastikan pengelolaan dana haji yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.

Dengan pengelolaan yang lebih strategis, dana haji dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung prinsip 3P (planet, people, and profit) dalam ekonomi berkelanjutan. Dana haji juga dapat mendukung ekonomi syariah dan UMKM, sehingga meningkatkan kesejahteraan umat.

Presiden Prabowo memiliki peluang besar untuk menciptakan sejarah baru dalam pengelolaan haji di Indonesia. Dengan transparansi distribusi kuota, aturan haji sekali seumur hidup, reformasi subsidi, dan investasi hijau, Indonesia dapat menjadi contoh pengelolaan haji yang baik di dunia.

Reformasi haji bukan hanya tentang ibadah, tetapi juga memastikan bahwa perjalanan suci ini dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Pahala tidak hanya berasal dari ibadah yang mabrur, tetapi juga dari manfaat pengelolaan dana haji yang dirasakan oleh masyarakat dan kelestarian lingkungan yang terjaga.